Selasa, 24 September 2013

Membiasakan Gaya Hidup Organik



KETIKA menyebutkan kata “organik”, banyak orang yang langsung menghubungkannya dengan makanan organik. Padahal, organic living atau gaya hidup organik tidak sebatas itu saja. Seperti apa gaya hidup organik?

Gaya hidup tak sehat sepertinya sudah menjadi teman akrab masyarakat dewasa ini. Pola makanan misalnya. Sekarang ini banyak makanan yang mengandung bahan kimia. Berbagai unsur kimiawi ditambahkan pada makanan untuk berbagai kepentingan, mulai dari mempercantik tampilan, menambah warna, hingga memperkuat cita rasa.

Fenomena inilah yang ujungnya menyebabkan bermunculannya berbagai penyakit. Tak hanya makanan siap saji, bahan makanan pun, seperti buah dan sayur, mulai banyak yang tercemar zat kimia. Tak percaya? Lihat saja survei yang dilakukan Christopher Emille Jayanata, Ketua Komunitas Organik Indonesia, cukup mencengangkan. Hasil survei yang dilakukan di daerah Garut, Dieng, Malang, dan beberapa daerah pertanian lainnya mengungkapkan bahwa penggunaan bahan kimia pestisida sudah 12 kali lipat lebih banyak dari sebelumnya.

Selama bertahun-tahun dengan 12 kali lipat dosis yang diberikan, hama masih bisa bertahan. Belum lagi yang disemprotkan pada tanaman bukan hanya pestisida, tapi juga perekat tipe pemutih, hormon, atau kurang lebih ada 5 jenis bahan kimia. Bila coba kita tanya kepada para petani adakah di antara mereka yang ingin makan apa yang mereka tanam, ternyata tidak satu pun yang mau.

Menurut Christopher, para petani makan dari hasil sayuran yang ditanam di belakang rumahnya.
Mereka memelihara kelinci, kambing, dan ayam dan membuat pupuk sendiri untuk tanaman yang akan dikonsumsinya. Belum lagi dengan peternakan. Di mana penggunaan antibiotik di Indonesia juga kian marak saja.

Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun lalu sudah melarang penggunaannya. Waktu digunakan sebelumnya pun peraturannya 10 hari setelah panen, antibiotik itu sudah tidak boleh dipakai agar tidak tertinggal di badan ayam. Namun, pada praktiknya saat ini sebanyak 99% peternakan ayam masih menggunakan antibiotik. Tak heran bila antibiotik merasuk di badan ayam yang tidak bisa dibersihkan.

“Bayangkan saja, Jakarta sendiri kini mengonsumsi sebanyak 1,2 juta ekor per hari, sementara untuk seluruh Indonesia 15 juta ekor per hari”kata Christopher Emille Jayanata.

Ini baru berbicara soal makanan, bagaimana dengan produk rumah tangga yang kita pakai sehari-hari. Kosmetik misalnya, sabun, sampo, semuanya hampir diproduksi menggunakan bahan-bahan yang sarat kimia. Selain kurang baik bagi kulit, sebagian besar juga tidak ramah lingkungan. Dampaknya mungkin belum dirasakan saat ini, tapi beberapa tahun ke depan akan terlihat dampak negatifnya. Jadi, tak mengherankan bila saat ini banyak ditemui anak-anak berkebutuhan khusus (autis) atau serangan jantung pada usia muda. Hal ini merupakan fenomena yang sangat biasa karena paparan kimia yang sangat tinggi. Inilah kenyataan yang harus dihadapi sebagian besar masyarakat. Ada yang sadar, tetapi mungkin ada pula yang tidak mengerti sama sekali.

Beberapa yang mengerti masih menganggap untuk memenuhi gaya hidup organik, maka diperlukan biaya yang lebih mahal. Anggapan ini dibantah Christopher, yang juga seorang produsen ayam organik.

“Organik tidak mahal, asal kita tahu siapa yang memproduksinya dan di mana mendapatkannya. Siapa bilang organik itu kurang enak. Buah atau sayur itu jauh lebih enak. Organik itu rasanya murni alami,” kata dia lagi.